Kamis, 11 Maret 2010

sebuah pujian

Mengapa Kita Begitu Sulit Memberikan Pujian

Seorang pengemis duduki mengulurkan tangannya disudut jalan. Tolstoy, penulis besar Rusia yang kebetulan lewat didepannya, langsung berhenti dan mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih ia berkata, “Janganlah marah saudaraku. Aku tidak bawa uang.

Mendengar kata kata itu, wajah pengemis berbinar binar dan ia menjawab, “Tak apa apa tuan. Saya gembira sekali, karena anda menyebut saya Saudara. Ini pemberian yang sangat besar bagi saya”.

Setiap manusia, apapun latar belakangnya memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui dan dihormati. Kebutuhan itu sering terlupakan begitu saja. Banyak manager yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi oleh uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang takan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja.

Manusia bukan sekedar makhluk fisik, tapi juga makhluk spritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.

Namun memberikan pujian ternyata bukan mudah. Jauh lebih mudah mengkritik orang lain.

Seorang kawan pernah mengatakan, “bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi saya benar benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu buruk”. Tahukan anda kenapa kinerjanya begitu buruk?. Saya balik bertanya. “Karena anda sama sekali tidak pernah memujinya”.

Persoalannya mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?. Menurut saya ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara kita memandang orang lain.

Pertama: kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah cinta unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak anak kita karena mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka memenuhi target yang telah ditetapkan. Perhatikanlah kata kata diatas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat syarat tidak terpenuhi cinta kita memudar. Padahal cinta yang tulus seperti pepatah Perancis: L’amour n’est past parce que mais malgre.

Cinta adalah bukan “cinta karena” tetapi “cinta walaupun”. Inilah cinta yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun. Cinta tanpa syarat penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatnya tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah “cinta walaupun”. Walaupun anda mengingkari nikmatNya, DIA tetap memberikan kepada anda. Lihatlah bagaimana dia menumbuhkan bunga bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, anda akan menjadi manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain. Ini memudahkan anda memberi pujian.

Kesalahan Kedua: kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik.. Ia berkata: “tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada disini”. Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk, tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan berkata, “Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah saya sendiri”.

Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain. Padahal, dengan menuyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan mudah sekali memberi pujian yang tepat.

Kesalahan Ketiga: disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering mengkotak-kotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam labal label: orang ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai manusia “segar dan baru”. Padahal, pasangan, anak, kawan, dan anggota teamkita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah dan senantiasa baru dan segar setiap saat.

Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun tahun berinteraksi dengan kita adalajh 4 L (Lu Lagi Lu lagi – bhs Jakarta). Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, dihadapan kita mereka telah kehilangan daya tariknnya.

Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya menyindir saya dengan mengatakan bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini, tentu membuat saya tersipu sipu dan benar benar mati kutu.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka ia mengandung enerji positif yang amat dahsyat. Saya telah mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang orang yang saya jumpai: isteri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan dikantor, resepsionis, tukang parkir, satpam, penjaga toko maupun petugas di jalan tol atau siapa saja.

Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih saya dengan berdoa, “Hati hati dijalan Pak”. Orang orang yang saya jumpai juga senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang bahagia, dan bersyukur. Yang lebih penting membuat orang merasa dimanusiakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar